Selasa, 15 Desember 2009

PERJUANGAN…

Tika lelah menyapa

January 3rd, 2009

Seorang kawan mengatakan dalam bulletin postnya kemarin

Pernah g c mrasa jenuh dlm halaq0h?Pernah g mrasa klo dlm halaq0h g ad hal baru yg qt dpt? Mendingn mana,,dtg lq tp g dpt hal bru atw g dtg lq tp dpt hal baru d’pngajian rumah??

jawabku…

Bismillah…
An pernah jg merasakan hal yg sama, tapi an tetap memaksakan hadir lq (jd jangan sampai dengan kondisi Qt yg lg drop malah ga’hadir. Bisa makin parah nantinya) Tapi sambil coba cari celah dan coba meningkatkan aktivitas ibadah Qt pd 4W1. Biasanya klo lg kondisi gini, mau ngapa2in aja lazynya minta ampun. bahkan tilawah or sholat sunnah aja berat banget…
Tapi insya4W1 kondisi itu akan segera berakhir, karena memang begitulah yg namanya ‘IMAN’, yazid wa yanqush (Naik turun). Jadi sekali lagi pada posisi turun gini, jangan sampe Qt malah ga hadir lq. Yach walaupun ga’da rasanya, tp insya4W1 suatu saat akan fresh lg qo. YAKIN dech ^^
Terus jg klo lg kondisi kaya gini, coba siasatin dan cari cara untuk ningkatin lagi ruhiyah qtnya. Misal ky ana kemarin, hadir syuro IQRO JakSel yg emang isinya rekan2 yg FULL SEMANGAT walaupun sdh punya baby. Dan Alhamdulillah sedikit banyak membantu. Or apa aja dech yg bs ningkatin PEMAHAMAN Qt akan URGENSI TARBIYAH ini. Baca buku jg boleh, or hunting buku di toko bk I’tishom or Fatahillah seru jg.
Atau kaya an kmarin yg mulai langganan lg Tarbawi, setelah sekian lama off.
Tapi yg paling berasa nyegerin lq an adalah RAKER Lq kmrn tgl.1/1/09 bareng temen2. ASLI effectnya luar biasa fresh. An curhat ke temen2 lq apa yg mengganjal sekaligus menjadi pemicu an bikin kondisi semangat Lq an tambah drop. Dan Alhamdulillah mereka ngertiin^^
Jd emang ruh Qta jg perlu rehat sejenak, karena sebenernya klo an boleh simpulin penyebab drop or lbh dikenal dengan futur adalah Situasi yg ga’ balance (seimbang) yg Qt sendiri penyebabnya. Antara aktifitas fisik (baik aktifitas da’wah, maupun yg lain)
dengan aktifitas Ruhiyah ga’ berjalan beriringan sehingga tanpa terasa porsi yg kosong yaitu ruh Qt.
Padahal Qt dah ngerti bahwa yg namanya JASAD - RUH - dan AKAL harus mendapatkan makanan dan perlakuan yg sama. Tul ga’ ^_^
Okay, semoga cepet kembali lg semangat da’wahnya. Karena Ummat ini MEMBUTUHKAN Qt!!!
Wassalam
Sekedar berbagi…BIRU

Karena KESENDIRIAN adalah Himpunan Duka Cita

ade_wiwik26@yahoo.com

Karena
Kesendirian adalah Himpunan Duka Cita

“Akan
merasa sunyi seorang yang tidak memiliki Sahabat, dan sia-sia orang yang
menahan diri untuk tidak mencarinya. Lebih sia-sia lagi, orang yang telah
mendapatkan sahabat, kemudian ia menyia-nyiakannya.”

(Hilal bin ‘Ula Al Raqy)

Kucoba menguntai kembali kisah yang telah lama tertumpuk dalam tunpukan kertas-kertas di kamarku…Sedikit berbagi …

Matahari sudah
condong ke sebelah barat.
Berdua
dengan Sari, saya menyusuri jalan menuju stasiun. Pengumuman kereta akan segera
datang telah terdengar, kami berdua semakin mempercepat langkah. Alhamdulillah
masih bisa dikejar.

Kamu sudah
beli karcis
belum,” Tanya Sari.

Enggak
sempat, nanti kucing-kucingan saja kalau ada petugas.”
Jawab saya ringan.

Kaki sudah hampir
masuk ke gerbong, tapi Sari malah menarik saya menjauhi kereta. Kereta pun
berangkat.

“Kenapa nggak
beli karcis dulu,”
kali
ini mukanya agak keruh.

Kan enggak sempat, lihat tuh mana antri lagi, males,”
mata saya mengarah ke tempat penjualan karcis.

“Ya sudah,
tunggu di sini.”
Sari
bergegas pergi, dan dengan tidak enak hati saya memandangi punggungnya yang
menjauh.

Berapa lama, waktu antri untuk membeli karcis,.” Katanya ketika
tiba di hadapan saya, tangannya menyodorkan karcis.

sepuluh menit” singkat saya.

“Gara-gara sepuluh menit, kamu bisa jadi antri di neraka.”

Drrrrr… gemetar juga
ditembak telak seperti itu.

Dan saya nggak mau ikut-ikutan antri di sana, gara-gara nggak ngingetin
kamu,”
tambah Sari.

Saya diam, kena setrum sepertinya.

Sudahlah, lain kali jangan curang!” perintahnya, kali ini dia
memandang saya penuh arti.

___________

Kalau terkenang dengan peristiwa tadi, saya selalu bergumam “Alhamdulillah
… saya mempunyai sahabat.”

“Eh ada yang kangen ingin berjumpa denganmu lho, mendengar rayuan mautmu,
melihatmu mengemis memohon cinta. Ayo bangun. Tahajud euyy!!!”
itu
isi sms dari seseorang yang baru saya kenal beberapa bulan. Pesan yang terus
menerus dikirimnya selama hampir 1 minggu, pada jam 03.00 WIB dini hari, tidak
kurang. Sebuah sms yang sebelumnya di awali dengan miscall beberapa
kali. Awalnya saya sempat merasa terganggu dan menyembunyikan hp di bawah bantal
agar bunyinya tidak terdengar.

Ketika saya membalas smsnya dengan “tidak sayang pulsa tuh, mengganggu
ketenangan orang,”
smsnya pun datang, “Lho katanya kamu sedang punya
banyak masalah.”
Sangat singkat, mengingatkan bahwa 2 hari yang lalu saya
curhat kepadanya.

Sekarang, kala mengingatinya, juga selalu hati ini berujar “Alhamdulillah
… saya memiliki sahabat yang demikian…”

_____________

Ini kisah yang saya dengar dari seorang muslimah. Suatu ketika, dia dan
alumni pengurus Rohis SMA berkumpul. Salah seorang rekan dari pengurus semasa
Rohis (sebut saja Dinda) baru saja meninggal, dan mereka baru tahu keadaan
ekonomi keluarganya ketika melayat ke rumah Dinda.

Ternyata Dinda adalah tulang punggung ekonomi keluarganya, selain yatim, Ibunya
hanya berjualan ala kadarnya. Ibunya bercerita, salah seorang adiknya hampir
mau ujian, tapi karena tidak ada biaya, akhirnya gagal merampungkan sekolah.

Dibahaslah solusi untuk meringankan beban Ibunda Dinda, dengan sebelumnya
beberapa rangkaian taushiyah bergulir. Semua yang hadir larut, banyak air mata
di sana. Air mata cinta.

Di akhir pertemuan terkumpullah materi yang tidak sedikit, perhiasan, uang,
sepeda motor, sepeda, dan sepasang sepatu baru. Kita pasti tahu kisah
selanjutnya, si Ibu tak henti menangis, dan hampir tersungkur di hadapan
mereka. Allahu Akbar.

Sugguh kisah tadi seperti pesan yang disampaikan seorang ulama “Persahabatan
antara orang-orang mukmin, menyatunya kalbu mereka, dan kecintaan yang terjalin
di antara mereka merupakan karunia Allah, bahkan juga termasuk taqarrub, dalam
ketaatan yang paling agung.”
Dan Alhamdulillah, almarhum Dinda mempunyai
sahabat seperti mereka …

______________

Dunia menjadi penuh makna ketika kita mempunyai banyak sahabat. Dunia
menjadi berpelangi tatkala banyak sahabat mengelilingi kita. Kahlil Gibran
menyebut “Kesendirian adalah himpunan duka cita.”

Tentu saja, karena manusia dicipta untuk hidup dalam kebersamaan,
sebagaimana firman Allah :

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
sekalian (terdiri dari jenis) laki-laki dan perempuan, dan Kami menciptakan
kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang
paling bertakwa.”
(QS. Al Hujurat : 13)

Sekali lagi, banyak hikmah yang dapat kita reguk dari persahabatan. Dan
juga perlu diingat, kita harus cerdik pula dalam memilihnya. Dalam era sekarang
ini, ketika ‘fenominul’ begitu menyesakkan hati umat Muslim, menjamurnya
narkoba, pesta muda-mudi, sepertinya kita butuh filter ampuh untuk memilih
sahabat. Dan filter itu bisa begitu ampuh ketika mempunyai sahabat yang mampu
mendekatkan diri kita kepada pemilik dari segala filter, Allah.

Memilih sahabat bukan berarti membeda-bedakan manusia. Memilah sahabat
berarti kita menilainya dari karakter dan sifat yang dimilikinya. Sebuah
persahabatan yang nantinya akan terjalin juga tidak seharusnya didasarkan pada
parameter-parameter duniawi saja. Sugguh, ketika kita berjumpa dengan seorang
yang berakhlak baik, menjaga shalatnya, maka itulah parameternya. Dan itulah
yang dilakukan orang-orang shalih terdahulu dalam menimbang siapa saja yang
pantas menjadi sahabat baginya.

Ayo, pikatlah sahabat sebanyak yang kita mampu. Sahabat yang tidak
menjadikan kita manusia yang disebut-sebut Al Qur’an, “Pada hari si zhalim
menggigit kedua tangannya seraya berkata : Ah, seandainya aku mengambil jalan
bersama-sama Rasul. Malang nian, mengapa dulu aku menjadikan si fulan menjadi
sahabat akrabku.”
(QS. Al Furqan 27-28)

Dan jangan lupa, “Shalih sendiri” juga tidak bermanfaat, jadi pikatlah sahabat
yang ketika dia mengenang kita, dia akan berujar …

Alhamdulillah, saya mempunyai
sahabat sepertimu …”

Akhirnya, saya sampaikan salam keselamatan untukmu yang berkenan membaca
tulisan ini. Izinkan saya menyebutmu sebagai ”sahabat”. Saya ingin menggelarimu
”Sahabat”, panggilan mesra Nabi al Musthafa1 pada generasi setia di zamannya,
sapaan yang akrab terdengar begitu merdu. Sebuah kosa kata indah yang saya
temukan dalam buku ”Berbagi cinta dengan para Sufi” sebagai kiasan bertubi
untuk orang yang paling mempunyai makna. Dan sekarang saya ingin mengadopsinya
untuk anda yang sekali lagi berkenan membaca tulisan ini.

Sahabat, semoga Anda membendaharakan kata ini juga untuk saya. Dan ketika
Anda menjadi sahabat, tak akan pernah jengah Anda memperingatkan, ketika saya
salah melangkah.

Semoga …

Parade Ukhuwah

ade_wiwik26@yahoo.com


Ukhuwah intinya ‘MEMBERI’. Memberi tanpa mengharapkan
balasan Dan mengharap balasan hanya dari Allah SWT.

Ukhuwah dan keimanan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, maka dari
itu jika salah satu tidak ada maka yang lainnya pun sirna. Tingkat ukhuwah
terendah ialah bersih hati dan berbaik sangka pada saudaranya sedangkan tingkat
ukhuwah tertinggi ialah mendahulukan saudaranya daripada dirinya [Drs. Umar Ali
Yahya].

Alkisah disebuah Madrasah Tsanawiyah di daerah Bangka Jakarta Selatan,
berkumpul sekelompok anak-anak sekolah yang sedang istirahat mengerumuni abang
penjual rujak, rupanya siang itu anak-anak sedang membeli rujak.Diantara
sekumpulan anak-anaktersebut terdapatlah seorang anak bernama Ubaidurrahman
(Ubay) yang saat itu ingin sekalimembeli rujak namun uangnya ketinggalan di
kelas.Keinginan Ubay itu ditangkap oleh temannya Hamad tanpa terlewat
sedikitpun. Saat itu Hamad pun sebetulnya ingin membeli rujak juga, namun
uangnya tinggal seribu rupiah saja, dan itupun untuk ongkos pulang.

‘Pake uangku saja dulu Ubay,’ seru Hamad pada Ubay yang terlihat sangat ingin
sekali membeli rujak. ‘Terima kasih Hamad, nanti aku ganti uangnya di kelas
ya,’ jawab Ubay dengan riangnya.

Begitulah, Hamad meminjamkan uangnya yang hanya tinggal seribu itu pada Ubay
untuk membeli rujak dengan harapan nanti akan dibayar di kelas. Ketika sampai
di kelas ternyata Ubay tidak membayar hutangnya dengan alasan uangnya ternyata
sudah terpakai untuk yang lain.

‘Masya Allah, Hamad aku lupa uangnya tadi sudah dipakai, besok saja ya…’
Hamad menatap Ubay sejenak dan kemudian mengangguk dengan senyum khasnya. Dalam
keadaan tidak ada uang sepersen pun, bahkan untuk ongkos pulang sekalipun,
Hamad masih tersenyum dan menjalani sisa harinya dengan kegembiraan.

Bel sekolah telah berbunyi, menandakan waktunya untuk pulang. Tidak terkecuali
dengan Hamad, ia pun pulang meskipun tidak seperti hari-hari sebelumnya. Kali
ini dia terlihat berjalan kaki, ya.. berjalan kaki dari sekolahnya di Bangka
Jakarta Selatan sampai rumahnya di Jatibening Bekasi, yang biasanya memerlukan
waktu 1 jam jika ditempuh dengan dengan kendaraan bermotor.

———-

‘Hamad kok belum pulang ya Bu? Aku mulai khawatir, coba telepon teman-temannya
barangkali memang sedang ada acara di sekolahnya,’ pinta Ust. Zufar pada
istrinya.Ust. Zufar merupakan ayah dari Hamad. Beliau ialah sosok yang ramah,
nama lengkapnya ialah Ust. Zufar Bawazier, Lc, dosen LIPIA dan juga pengurus
sebuah Partai Islam di Indonesia.

Saya sempat mengenalnya ketika beliau mengisi sebuah seminar di Bandung dimana
saya terlibat sebagai panitia. Saat itu, beliau kami sediakan tiket pulang
dengan Kereta Api untuk jadwal kepergian jam 13.00.

Betapa kagetnya saya ketika teman saya memberitahukan bahwa Ust. Zufar sedang
berdiri menunggu angkutan umum yang saya yakin beliau tidak hafal rutenya,
untuk menuju stasiun. Lebih parah lagi waktu telah menunjukan pukul 12.50, yang
artinya hanya 10 menit lagi kereta akan segera pergi.

Saya segera mengambil motor untuk mengantarnya menuju stasiun, saya tidak habis
fikir mengapa Ust. Zufar tidak memberi tahu panitia kalau keadaannya seperti
ini, atau memang panitianya yang tidak memperhatikan, pikirku.

Aku susuri jalanan kota Bandung dengan kecepatan tinggi, bahkan sempat
melanggar beberapa rambu lalu lintas, aku tak peduli, saat itu fikiranku hanya
mengantar Ust. Zufar agar tidak ketinggalan kereta menuju Jakarta.

Dan memang akhirnya Ust. Zufar bisa mendapatkan keretanya, walaupun harus
dengan berlari setelah sebelumnya masih sempat menyalamiku sambil tersenyum dan
mengucapkan terima kasih padaku. Itulah kenangan terakhir dan satu-satunya
pertemuanku dengan Ust. Zufar.

———-

‘Kriiing…’ telepon di rumah Pak Umar berdering. Telepon itu ternyata dari
Ust. Zufar yang kemudian memberitahukan kepada Pak Umar bahwa anaknya saat itu
pulang malam sekali. Pak Umar adalah kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah dimana
Hamad bersekolah. Lalu Ust. Zufar pun menjelaskan penyebab anaknya hingga
pulang selarut itu kepada Pak Umar.

Esok harinya, Pak Umar memanggil Hamad dan Ubay ke Kantor. Tidak ditemukan
wajah kesal atau kecut dari Hamad, suatu pancaran ketenangan jiwa dari seorang
anak yang masih bersih hatinya.

Lalu Pak Umar berkata pada Ubay, ‘Lihatlah, sepatu temanmu rusak karena kamu
menyia-nyiakan kebaikannya…’ Pak Umar terkenal akan kebijaksanaannya, beliau
digelari ‘Pembina Sejati’ oleh teman saya di Bandung yang pernah merasakan
sentuhannya pula. Saya beruntung pernah menjadi binaanya selama setahun. Waktu
yang cukup singkat untuk sebuah pembinaan yang bertajuk Ta’lim Rutin Kader
Partai Keadilan Sejahtera. Namun waktu yang singkat itu telah cukup baginya
untuk meniup kuncup dalam diri ini sehingga mekar menjadi bunga.

Sepatu tua Hamad terlihat rusak, yang memang sebelumnya sudah lusuh. Ubay
menangkap semua itu tanpa terlewat sedikitpun. ‘Maafkan aku ya Hamad, ini pakai
saja sepatuku, aku punya dua sepatu kok di rumah.’

……..begitulah kisah mereka berdua, ibarat sebuah parade ukhuwah, mereka begitu
mempesona setiap orang yang melihatnya.

Cermin Ukhuwah

ade_wiwik26@yahoo.com

Cermin Ukhuwah


Hari masih menunjukkan pukul 9.00 pagi ketika saya dan anak-anak sampai di Tokyo Eki. "Assalamu’alaikom…" Sapa satu suara yang diiringi dengan senyum ceria. Wajah khas Jepang dengan mata sipit tertutup kaca mata, dan kulit putih yang tertutup abaya plus jilbab. Tampak kerut-kerut di wajahnya yang menunjukkan usianya yang sudah tidak terlalu muda lagi. Sambil menjawab salam, saya ajarkan anak saya untuk menjabat tangan muslimah tersebut. Bergegas kami menuju peron yang disediakan khusus untuk shinkansen. Saat itu, saya dan kedua anak saya berencana untuk menuju tempat kelahiran Khodijah san di Iwate, sekitar 400 km di sebelah utara Tokyo.

"Alhamdulillah..finally we can go to Iwate.." seru saya sambil mengambil tempat duduk yang sudah dipesankan. Khodijah san tersenyum dan mulai membuka bekal yang dibawanya, dan membagikannya kepada saya dan anak saya. Satu sifat yang saya sukai dari Khodijah san, sangat pemurah. Mau membagi apa yang ia miliki kepada orang lain. Memang ketika kami janjian untuk berangkat bersama-sama ke Iwate, Khodijah san meminta saya untuk tidak membawa bekal makanan, karena dia yang akan membuat semacam onigiri untuk sarapan saya dan anak-anak. Mungkin Khodijah san kasihan melihat saya yang harus berangkat pagi-pagi sekali sambil membawa kedua anak balita saya. Karena tempat tinggal saya sekitar dua jam dari Tokyo eki. Sambil tersenyum dan mengucapkan jazaakillah khoiron, saya menyantap sarapan saya bersama anak-anak.

Suasan tenang yang berbeda dari kota metropolitan Tokyo segera menyergap ketika kami sampai di Iwate. Di Eki, Kakak dari Khodijah san sudah siap dengan mobil jemputan yang akan membawa kami ke rumahnya, tempat kami menginap selama di sana. Saat itu saya dan anak-anak diterima dengan sangat ramah oleh keluarga Khodijah san. Meskipun keluarganya belum muslim, tapi dari keakraban yang mereka tunjukkan, saya bisa menangkap hubungan yang baik di antara anggota-anggota keluarga yang berbeda keyakinan tersebut. Khodijah san tetap bisa menyampaikan perbedaan-perbedaan prinsip hidupnya kepada keluarganya, tanpa membuat jarak yang bisa mengeruhkan hubungan di antara mereka. Suatu sikap yang menunjukkan kematangan pribadi dan kelembutan dalam bersikap. Satu hal lain yang saya kagumi dari saudari saya ini.

Hari masih gelap ketika kami menunaikan sholat subuh di rumah itu. Kali ini, saya meminta Khodijah san sebagai tuan rumah untuk menjadi imam sholat. Terdengar lantunan bacaan qur’an yang dilafalkan dengan sangat baik dan tajwid yang benar. Dan juga yang membuat saya terharu adalah surat pilihan yang dibacanya. Bukan surat pendek dari juz amma seperti yang saya kira, tetapi petikan beberapa ayat terakhir dari surat Al-Hasyr. subhanallah.

Saya mengenalnya baru sekitar empat tahun yang lalu. Masa yang singkat memang. Karena pada saat itu, Khodijah san baru kira-kira dua atau tiga tahun sebelumnya menjadi seorang muallaf. Saat itu dia datang ke masjid Otsuka untuk belajar membaca al-Qur’an. Khodijah san mulai belajar dari a ba ta tsa. Sampai saat ini, ia sudah lancar mengaji dan banyak menghafal surat-surat di dalam al-Qur’an. Kegigihan dan semangatnya untuk terus menerus belajar adalah sifat yang paling saya kagumi dari Khodijah san. Meskipun di usia yang sudah tidak bisa dibilang muda. Ditambah dengan lafal bahasa Arab sebagai bahasa asing yang sangat sulit untuk ditiru oleh kebanyakan orang Jepang. Khodijah san adalah pengecualian, ia mampu melakukannya.

Alhamdulillah, betapa banyak pelajaran dari saudari saya ini. Keramahan, kelembutan hati, sifat pemurah dan sikap pantang menyerah menjadi cermin dalam perbaikan diri saya.

Saya banyak juga mengenal muslimah muallaf nihonjin yang lain. Rata-rata mereka memiliki sifat pantang menyerah dalam mempelajari hal-hal baru. Muslimah Jepang juga rata-rata sangat serius dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Apa pun yang mereka lakukan, harus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Al-Qur’an dan hadist. Sifat khas orang Jepang, yang menunjukkan semangat profesionalisme dalam bekerja. Satu cermin yang sangat baik untuk saya tiru.

Meskipun demikian budaya Jepang cenderung kaku dan terkesan ‘dingin’ bila dilihat oleh orang asing. Tetapi sejalan dengan interaksi yang dalam dengan Al-Islam, sedikit demi sedikit sifat-sifat mereka bisa lebih disempurnakan lagi oleh akhlak Islam.

Saya sering berangan-angan, ah andai masyarakat Jepang suatu saat bisa menerima Islam. Tentu perpaduan antara sifat-sifat baik mereka dengan kehalusan pekerti dalam Islam akan mampu memberikan banyak kemajuan berarti bagi peradaban Islam. Semoga suatu saat, harapan itu bisa terwujud… amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar