Jumat, 08 Oktober 2010

DIFTERI

DEFINISI

Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.

ETIOLOGI

Penyebab difteri adalah Corynebacterium Diphteriae (basil Klebs-Loeffler) merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain (tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium Diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler. Pada media tellurite dapat dibedakan 3 tipe koloni : koloni mitis yang halus, berwarna hitam dan cembung; koloni gravis yang berwarna kelabu dan setengah kasar, sedangkan koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki pusat berwarna hitam.

EPIDEMIOLOGI

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.

PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 hari masa inkubasi, kuman dengan corynephage akan menghasilkan toksin yang mula-mula diabsorpsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide adenine Dinucleotide (NAD) dengan membentuk formasi sehingga transferase adenosine difosforilase tidak aktif. Sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dari RNA dengan memperpanjang rantai polipeptide, akibatnya terjadi nekrosis sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula masih dapat diangkat. Produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas dan dalam dan terjadi eksudat fibrin, terjadi perlengketan dan membentuk membran yang berwarna bervariasi dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur. Jadi membran ini terdiri dari fibrin-fibrin, sel-sel yang udema, sel darah merah dan epitel mukosa. Pada saat ini bila membran diangkat maka akan terjadi perdarahan. Udema juga terjadi pada jaringan dibawahnya sehingga dapat menyebabkan kesulitan bernafas bila udema ini terjadi di laring atau trakheobronkial.
Toksin ini akan beredar dalam tubuh melalui darah setelah membran terbentuk dan merusak jaringan organ tubuh, terutama jantung, saraf dan ginjal. Walaupun antitoksin dapat menetralisir toksin yang beredar dalam darah, tetapi tidak dapat menetralisir toksin yang sudah masuk ke dalam sel. Setelah toksin masuk dalam jaringan maka terjadi variasi periode laten sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya timbul 10-14 hari setelah terjadinya infeksi, dan dapat pula pada akhir minggu keenam. Sedangkan sistem saraf berupa neuritis perifer biasanya timbul 3-7 minggu setelah perjalanan penyakit. Perubahan patologis yang ditemukan pada jaringan organ adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin. Pada sistem saraf dapat ditemukan adanya degenerasi lemak dari sarung mielin. Pada hepar dapat terjadi nekrosis sehingga dapat terjadi hipoglikemia. Pada ginjal dapat terjadi tubular nekrosis akut.

MANIFESTASI KLINIS

Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau belum.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8oC – 38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan.
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak.
Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan menghilang. Dan perubahan ini akn lebih cepat bila diberikan antitoksin.
Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul. Kadang-kadang udema disertai nekrose.
Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi dibawah mandibula sehingga memberi gambaran bullneck.

DIFTERI TONSIL DAN FARING

Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis / periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat.
Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
DIFTERI HIDUNG

Kira-kira 2% kasus difteri dan gejalanya paling ringan. Biasanya ditandai oleh adanya sekret hidung dan tidak khas. Sekret ini biasanya menempel pada septum nasi, absorpsi toksin dari tempat ini cepat menghilang dengan pemberian antitoksin, bila tidak diobati maka sekret akan berlangsung berminggu-minggu dan merupakan sumber utama penularan. Bentuk penyakit ini paling sering ditemukan pada bayi.

DIFTERI LARING

Kebanyakan merupakan penjalaran dari difteri faring. Tetapi kadang-kadang berdiri sendiri. Penyakit ini disertai panas dana batuk serta suara serak.
Pada kasus ringan dengan pemberian antitoksin gejala obstruksi akan hilang dan membran hilang pada hari 6-10. Pada kasus sangat berat penyumbatan diikuti dengan anoksemia yang ditandai dengan gelisah., sianosis, lemah, koma dan meninggal.
Jackson membagi derajat dispnea laring proresif menjadi 4 stadium :
 Stadium 1
o Terdapat cekungan ringan suprasternal
o Keadaan ini tidak mengganggu dan penderita tampak tenang
 Stadium 2
o Cekungan suprasternal menjadi lebih dalam ditambah cekungan di epigastrium
o Penderita mulai nampak gelisah
 Stadium 3
o Tampak cekungan suprasternal, supraclavicular, infraclavicular, epigastrum dan intercostal
o Penderita sangat gelisah dan tampak sukar untuk bernafas
 Stadium 4
o Gejala diatas semakin berat
o Penderita sangat gelisah dan berusaha sekuat tenaga untuk bernafas
o Tampak seperti ketakutan dan pucat / sianosis

DIFTERI LAIN

Dapat terjadi diluar saluran nafas seperti kulit, konjungtiva, telinga dan vulvovaginal dapat terkena infeksi bakteri.
 Difteri kulit, ditandai ulkus berbatas jelas dengan dasar membran putih/abu-abu
 Difteri konjungtiva, mengenai konjungtiva palpebra yang ditandai edema dan adanya membran di konjungtiva palpebra
 Difteri telinga, ditandai dengan adanya cairan mukopurulen yang persisten
 Difteri vulvovaginal, ditandai dengan ulkus dengan batas jelas

DIAGNOSIS

Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi.
Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difter agak berbeda dengan membtran penyakit lain. Warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
Untuk pemeriksaan bakteriologis bahan yang diambil adalah membrannya sendiri atau bahan di bawah membran. Bahan diambil dalam Loffler, Telluritedan media blood agar.
Pemeriksaan laboratorium darah dan urin tidak ditemukan arti yang spesifik. Leukosit dapat meningkat atau normal, kadang-kadang dapat anemia karena adanya hemolise sel-sel darah merah.

Schick Tes
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari, tetapi tes ini berguna untuk menentukan kerentanan para kontak dan pada diagnosis serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan.

DIAGNOSA BANDING

Difteri Hidung
 Benda asing dalam hidung
 Rinore
 Lues congenital
Pemeriksaan hidung dengan spekulum hidung, roentgenogram sinus dapt menyingkirkan gangguan-gangguan ini.
Difteri Tonsil dan Faring
 Faringitits streptokokkus
Difteri Tonsil dan Faring harus dibedakan dengan faringitis streptokokkus, yang biasanya berhubungan dengan nyeri hebat ketika menelan, suhu tubuh yang meninggi dan membran yang relatif tidak melekat serta terbatas pada tonsil. Pada beberapa penderita, difteri faring terdapat bersamaan dengan faringitis streptokokkus
 Mononukleus Infeksiosa
Difteri Tonsil dan Faring harus dibedakan dengan Mononukleus Infeksiosa, yang biasanya disertai limfadenopati dan splenomegali, limfosit-limfosit atipik dan antibodi heterofil.
 Blood dyscrasias
Diskrasia darah seperti agranulositosis dan leukemia; dari membran fausial pasca tonsilektomi dimana membran bersifat menetap serta tidak menyebar dan keterlibatan orofaring oleh Toxoplasma, virus sitomegalo, F.tularensis dan salmonella.
 Tonsilitas folikularis
 Angina Plaut Vincent
 Membran post tonsilektomi
 Angioneurotik udema dari laring
 Benda asing laring
Komplikasi :
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
2. Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udema jalan nafas
3. Sistemik : karena efek eksotoksin
 Miokarditis
 Neuritis
 Nefritis

1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptokok dan Stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada difteri dengan infeksi tumpangan dengan kuman streptokok.
2. Obstuksi jalan nafas
Obstruksi ini dapat terjadi akibat membran atau edema jalan nafas.
3. Sistemik
Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi dapat terjadi pada bentuk ringan.
Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi lokal dan makin terlambat pemberian antitoksin, miokarditis makin sering terjadi. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya miokarditis adalah irulensi kuman. Miokarditis ini dapat diikuti oleh kegagalan jantung yang ditandai dengan pembesaran hepar dan kongesti paru.

PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAAN

Difteri Tanpa Komplikasi
A. Pengobatan Umum
Meliputi perawatan yang baik, istirahat total di tempat tidur, isolasi penderita dan makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
B. Pengobatan Khusus
1. Anti difteri toksin
Selama infeksi toksin difteri ada 3 bentuk :
1. Toksin bebas dalam darah
2. Toksin bergabung dengan jaringan secara tidak erat
3. Toksin bergabung erat dengan jaringan
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah 1 dan 2. yang bergabung erat, antitoksin tidak berefek. Secara ideal bila penderita tidak alergi, antitoksin sebaiknya diberikan secara intravena.
Keuntungan pemberian antitoksin intravena :
 ‘Peak level’ serum antitoksin dapat dicapai dalam waktu 30 menit, sedangkan secara IM dicapai dalam waktu 4 hari.
 Ekskresi antitoksin secara IV sama dengan IM
 Antitoksin mencapai saliva segera setelah pemberian IV
 Pada binatang coba ternyata pada pemberian IV dibandingkan IM, angka kematian, miokarditis dan neuritis jauh lebih rendah.
2. Antibiotik
 Penisilin prokain
Masih cukup efektif untuk mengobati difteri sampai sekarang, dosis yang digunakan adalah 50.000 unit/kgBB/hari selama 10 hari.
 Eritromisin
Diberikan bila penderita alergi terhadap penisilin. Dosis yang dianjurkan 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis sehari, maksimal 1 gram.
 Linkomisin
 Tetrasiklin
3. Kortikosteroid
Tujuan pemberian obat ini untuk mencegah timbulnya miokarditis. Dapat diberikan prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu, lalu dihentikan secara bertahap.

Pengobatan Difteri dengan Komplikasi

Selain pengobatan umum, juga pengobatan khusus terhadap komplikasinya.

Pengobatan terhadap obstruksi laring :
 Pengisapan lendir
 Trakheostomi
Pengobatan terhadap miokarditis :
 Istirahat total, tidak boleh ada aktivitas
 Diet lunak dan mudah dicernakan
 Digitalis
Pengobatan terhadap neuritis :
 Perlu pemasangan sonde lambung untuk mencegah aspirasi
 Bila terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga.

PENCEGAHAN
Imunisasi
Tindakan pencegahan yang paling efektif terhadap difteri adalah imunisasi aktif. Agen yang lebih disukai untuk anak-anak berusia kurang dari 6 tahun adalah toksoid difteri, yang diberikan kombinasi dengan tetanus toksoid dan antigen pertusis (DPT). Imunisasi DPT biasanya diberikan pada usia 2,4,6, dan 18 bulan, dan 4-6 tahun. Imunisasi primer pada anak-anak berusia lebih dari 6 tahun dapat dilakukan dengan mempergunakan vaksin difteri tipe dewasa dan toksoid-serap tetanus (Td). Pemberian toksoid-serap (Td) tidak diikuti insiden reaksi yang tinggi yang berhubungan dengan penggunaan DTP atau DT pediatrik. Oleh karena itu, Td dapat diberikan dengan aman tanpa didahului tes kulit. Dosis booster selanjut nya yang diberikan dalam selang waktu 10 tahun dapat mempertahankan kadar antibodi pada banyak orang.

Para Kontak
Pencegahan difteri juga tergantung pada isolasi penderita untuk memperkecil penyebaran penyakit dan pada penatalaksanaan para kontak yang telah diketahui. Penderita tetap bersifat menular hingga basil-basil bakteri tidak berhasil dibiakkan dari tempat infeksi; diperlukan 3 kali biakan berturut-turut dengan hasil negatif sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.

PROGNOSA

Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis.
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difterik.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia amegakariositik atau miokarditis yang disertai disosiasi atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar