INFORMASI UMUM PENGOBATAN PENYAKIT TBC
Tujuan dari pengobatan penyakit TBC adalah untuk menyembuhkan, mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau timbulnya resistensi terhadap obat anti tubeerkulosis (OAT) dan memutuskan rantai penularannya. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja dan dimana saja, namun lebih banyak menyerang penderita pada usia produktif di rentang usia 15 – 55 tahun. Indonesia termasuk dari tiga negara dengan kasus penyakit TBC tinggi, selain Cina dan India, diperkirakan setiap tahunnya terjadi 140.000 kasus kematian akibat penyakit infeksi kronis ini.
Pada saat sekarang ini seharusnya pengobatan penyakit TBC sudah tidak menjadi masalah lagi, karena :
1. Penyebab penyakit sudah diketahui dengan pasti, yaitu infeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis
2. Obat-obatan nya yang ampuh sudah tersedia diantaranya streptomisin, isoniazid, etambutol, pirazinamid, rifampisin.
3. Sarana pelayanan kesehatan tersedia mulai dari Puskesmas pembantu, puskesmas, Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus TB Paru. Demikian juga sarana pelayanan kesehatan swasta juga bertebaran di mana-mana.
4. Tenaga medisnya tersedia di berbagai sarana pelayanan kesehatan mulai dari dokter umum sampai dokter spesialis paru
Namun realita menunjukan bahwa pengobatan TBC ini tidak semudah yang diperkirakan.
Apa itu Penyakit TBC?
Penyakit TBC atau Tuberkulosa merupakan penyakit infeksi kronis yang diakibatkan oleh kuman (bakteri) tahan asam Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang (basil), bersifat tahan asam dan oleh karena itu di Indonesia disebut sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Pada abad ke 19 Robert Koch menemukan basil ini sebagai penyebab penyakit TBC dan temuan ini dilaporkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882. Untuk mengenang penemunya maka basil ini biasa disebut sebagai ‘basil Koch’
Cara Penularan
Penularan penyakit ini biasanya melalui udara yang telah tercemar oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yaitu pada saat penderita TBC batuk. Infeksi pada anak-anak umumnya berasal dari penderita dewasa. Apabila bakteri ini sering masuk ke paru-paru maka akan terkumpul dan berkembang biak, terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh rendah, serta menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening ke berbagai organ tubuh
Hampir semua organ tubuh dapat terinfeksi bakteri ini , antara lain :
1. Paru-paru , merupakan organ tubuh yang paling sering terinfeksi. Penyakit TBC pada paru-paru disebut sebagai Koch Pulmonum (KP) dan biasa juga disebut TB Paru.
2. Tulang
3. Otak
4. Ginjal
5. Saluran Pencernaan
6. kelenjar Getah Bening
7. dan lain-lain
Meningkatnya penularan penyakit TBC sering dihubungkan dengan keadaan sosial ekonomi yang buruk, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal, daya tahan tubuh yang rendah, virulensi dari bakteri penyebab TBC serta belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat.
Gejala Penyakit TBC
Gejala Penyakit TBC dibedakan menjadi 2 bagian yaitu gejala umum dan gejala khusus tergantung dari organ mana yang terinfeksi. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala-gejala umum :
• Demam tidak terlalu tinggi, berlangsung lama, umumnya dirasakan pada malam hari disertai keringat malam.
• Terjadi penurunan nafsu makan dan berat badan.
• Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu, dapat disertai dengan keluarnya darah dari paru-paru penderita.
• Badan lemah
Gejala khusus
• Timbul bunyi ‘mengi/bengek’, suara nafas melemah dan sesak nafas. Ini terjadi sebagai akibat terjadinya sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar
• Keluhan sakit dada dikarenakan terdapatnya cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru)
• Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
• Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
PENGOBATAN PENYAKIT TBC
Pengobatan TBC merupakan masalah yang rumit mencakup waktu penyembuhan yang lama, kepatuhan disiplin penderita dalam menjalani pengobatan, daya tahan tubuh dan factor social ekonomi penderita. Ada banyak factor penyebab yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan penyakit TBC ini antara lain :
1. Sifat bakteri
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri penyebab yang memperlihatkan kecepatan tumbuh yang lambat dan relative lebih resisten terhadap antibiotic bila dibandingkan dengan mikroorganisme lainnya Sifatnya yang persisten mengakibatkan waktu pengobatan yang lama.
2. Daya tahan tubuh
Penelitian terhadap hewan percobaan memperlihatkan terdapat antibody yang spesifik terhadap bakteri ini. Penderita yang pernah terinfeksi seharusnya memiliki antibody dalam tubuhnya, namun sebagian penderita dapat terinfeksi kembali beberapa tahun setelah terjadinya infeksi primer. Kemungkinan yang terjadi adalah mekanisme metabolic dalam tubuh dapat merusak imunitas, sehingga bakteri yang sudah lama ‘tidur’ (dormant) dapat bangkit kembali
3. Kepatuhan Penderita
Pemberian obat TBC menimbulkan kesembuhan klinis yang lebih cepat dari kesembuhan bakteriologik dan keadaan ini menyebabkan penderita mengabaikan penyakit dan pengobatannya. Pengobatan yang memerlukan waktu lama dapat menyebabkan penderita menghentikan pengobatannya sebelum sembuh, apalagi bila selama pengobatan timbul efek samping. Faktor pendidikan dan ekonomi serta sarana pelayanan kesehatan yang jauh dapat menyebabkan ketidak patuhan penderita akan pengobatan penyakitnya.
Pemeriksaan atau kontrol berkala merupakan tindakan obyektif yang harus dilakukan untuk menilai hasil pengobatan penyakit infeksi kronis ini. Penilaian ini menjadi dasar dalam memberikan tindakan pengobatan yaitu dalam menentukan berapa lama pengobatan, berapa dosis yang tepat dan jenis kombinasi obat apa yang diperlukan. Penilaian obektif penderita dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kecepatan konversi dahak penderita dan perbaikan gambaran radiologiknya. Evaluasi bakteriologik sangat perlu dilakukan pada penderita dengan dahak mikroskopik positif. Evaluasi dilakukan pada saat sebelum pengobatan dimulai, pada akhir fase intensif, pada satu bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. Bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak serta menentukan tindak lanjut pengobatan.
Enam puluh tahun setelah Robert Koch menemukan bakteri penyebab TBC, pada tahun 1940-an mulai diperkenalkan obat antituberkulosis (OAT) yang sekarang ini dipakai secara luas, yaitu streptomisin disusul kemudian pada tahun 1947 dengan paraaminosalisilat (PAS) dan pada tahun 1952 ditemukan isoniazid (INH).
Pada tahun 1967 mulai diperkenalkan rifampisin sebagai OAT baru yang saat ini dipakai secara luas pada pengobatan jangka pendek tuberkulosis paru bersama dengan OAT lainnya. Sifat farmakologik OAT yang aman dan regimen terapi yang efisien menjadi dasar dalam pemilihan OAT yang digunakan pada penderita.
Obat Anti Tuberkulosis yang ideal harus memenuhi persyaratan :
1. Non toksik
2. Mudah diserap dan diberikan secara oral
3. Meresap ke semua jaringan menembus sarang tuberkulosis
4. Aktif terhadap basil yang berada di dalam dan di luar sel, baik pada suasana asam maupun suasana basa
5. Sanggup membunuh basil yang aktif, maupun yang tidak aktif (dormant)
Ada 2 (dua) kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT) :
1. OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua) jenis berdasarkan sifatnya yaitu :
b. Bakterisidal, termasuk dalam golongan ini adalah INH, rifampisin, pirazinamid dan streptomisin.
c. Bakteriostatik, yaitu etambutol.
Kelima obat tersebut di atas termasuk OAT utama
2. OAT sekunder (second Antituberculosis Drugs), terdiri dari Para-aminosalicylic Acid (PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin. OAT sekunder ini selain kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang dipakai lagi.
Sebaik apapun OAT yang diberikan, tujuan pengobatan tidak akan tercapai dan tatalaksana yang diberikan dengan baik akan sia-sia jika OAT tidak sampai ke penderita dan diminum dengan benar sesuai aturan pengobatan. Keteraturan minum obat amat penting untuk dipatuhi karena ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. Monitoring efek samping obat penting untuk dilaporkan ke petugas kesehatan / tenaga medis.
Dalam program nasional dikenal ada petugas Pengawas Menelan Obat (PMO) yang bertugas untuk memastikan pemakaian OAT dengan benar. PMO bisa berasal dari petugas kesehatan, anggota keluarga penderita atau anggota LSM pemerhati penyakit TBC.
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI menerapkan Strategi
Direct Observe Treatment, Short-Cource (DOTS) yaitu suatu metode penanganan TB yang direkomendasikan WHO. Strategi ini sudah teruji keampuhannya di berbagai negara dalam mendeteksi dan menyembuhkan penderita TBC, baik sebagai kasus per individu maupun dalam bentuk pelayanan bagi masyarakat banyak dalam program nasional. Secara umum DOTS lebih mengarah ke suatu program yang bersifat nasional, namun bila disimak dari uraian kata DOTS itu sendiri, pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas, dan inilah yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT). Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (short cource) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-masing kasus. Harus disertai sistem evaluasi yang dapat menilai hasil-hasil pengobatan kasus per kasus maupun penampilan program secara keseluruhan, yaitu dalam bentuk pencatatan dan pelaporan yang baku dan seragam.
Menjadi fokus perhatian di sini adalah adanya dukungan atau kesepakatan (komitmen) dari berbagai pihak untuk menjadikan strategi sebagaimana diuraikan di atas menjadi prioritas dalam penatalaksanaan tuberkulosa.
Dalam strategi DOTS diupayakan agar penderita yang telah menerima obat / resep obat agar tetap dapat membeli / mendapatkan obat tanpa terputus, minum obat secara teratur dan kembali kontrol untuk menilai hasil pengobatan. Dengan strategi DOTS, maka tujuan pengobatan yang sesungguhnya dapat terpenuhi. Pengobatan penyakit TBC sekarang ini tidak terpisahkan dari program penanganan tuberkulosa nasional terutama dengan strategi DOTSnya.
Referensi :
1. FKUI, Bagian Farmakologi, Farmakologi dan Terapi, Edisi 2, 1981
2. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2, Cetakan Pertama, 2007
3. Kutipan dari tulisan Taufan Situmeang, Pengobatan Tuberkulosis Paru Masih Menjadi Masalah?. http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi, 3 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar